BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Didalam perencanaan tata ruang perlu
dikaji mengenai karakteristik dan kondisi sosial budaya masyarakat wilayah yang
direncanakan. Banyak
sekali Provinsi-provinsi di Indonesia yang masih mempertahankan budaya lokalnya,
sebagai contoh adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya di kampung Sade,
kecamatan Pujut, kabupaten Lombok Tengah. Masyarakat di desa Sade masih
menjalankan aktifitas sehari-hari sesuai dengan adat yang tetap berlaku hingga
kini. Kampung Sade dinilai masih dapat mempertahankan budaya dari leluhur,
selain itu, karakteristik dari kampungnya pun cukup menarik untuk ditelusuri.
Wajar saja bila suatu nanti di kampung sade dijadikan wilayah untuk perencanaan
desa terpadu.
Kampung Sade dipilih sebagai objek
dari kajian ini karena masih sangat kental dengan nuansa budaya lokalnya.
Mereka tetap berpedoman pada adat dari leluhurnya. Sistem artefaknya pun masih
terjaga dengan baik hingga saat ini. Aturan/ norma dari suku sasak masih mereka
jalankan sebagaimana mestinya.
1.2 Rumusan Masalah
a) Apa saja karakteristik yang ada di
Kampung Sade?
b) Bagaimana kondisi sosial budaya yang
ada di Kampung Sade?
c) Bagaimana Sistem Artefak yang ada di
Kampung Sade?
d) Apa implikasinya terhadap penataan
ruang berdasarkan sistem artefaknya?
1.3 Tujuan dan Sasaran
a) Untuk mengetahui apa saja
karakteristik yang ada di Kampung Sade.
b) Untuk mengetahui dan mempelajari
bagaimana kondisi sosial budaya yang ada di Kampung Sade.
c) Untuk mengetahui dan mempelajari
sistem artefak yang ada di Kampung Sade.
d) Untuk mengetahui dan menjelaskan
bagaimana implikasi di dalam penataan ruang berdasarkan sistem artefaknya.
1.3 Ruang Lingkup
Kampung Sade merupakan salahsatu dusun yang terdapat di
Desa Rembitan, Kec. Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Secara geografis kampung
Sade terletak pada 08
50’
LS dan 116
BT dengan batas wilayah sebagai berikut:
·
Sebelah
Barat : Dusun Penyalu
·
Sebelah
Timur : Dusun Lentak
·
Sebelah
Utara : Dusun Selak
·
Sebelah
Selatan : Dusun Selemang
1.4 Metodologi Penelitian
Untuk
memperoleh data dan informasi pada kajian ini dilakukan melalui kajian
kepustakaan dan studi literatur.
1.5 Sistematika Pembahasan
BAB 1 PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan yang berisikan
latar belakang, rumusan masalah, tujuan pengkajian, lingkup kajian dan
metodologi penelitian.
BAB
2 STUDI KEPUSTAKAAN DAN LANDASAN TEORI
Pada bab ini dijelaskan bagaimana
konsep/teori yang terkait didalam studi Perencanaan. Pada teori pengembangan
Desa dan teori-teori lainnya akan dipaparkan dalam bab ini.
BAB
3 DATA, ANALISIS DAN IMPLIKASI
Pada Bab 3 ini, data dari wilayah
kajian akan dikompilasikan. Selain itu, akan dianalisis lebih lanjut dan
bagaimana keterkaitan/implikasinya terhadap penataan ruang berdasarkan sistem
artefaknya.
BAB
4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab 4 menjelaskan tentang penyimpulan
dari seluruh isi materi dari kajian ini dan membuat beberapa rekomendasi untuk
perencanaan di wilayah ini.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
A. Pengertian Sistem Sosial Budaya Menurut
Para Ahli
Sistem sosial adalah sistem yang
terbentuk dalam saling ketergantungan antara manusia dengan manusia lain.
Menurut Robert MZ. Lawang (1985), dalam buku sistem sosial Indonesia dinyatakan
bahwa sistem sosial itu ditandai oleh adanya hubungan timbal-balik secara
konstan (tindakan berulang-ulang dengan cara yang sama seperti sebelumnya). Unsur-unsur sistem sosial menurut Elvin L.bertrand (1980),
ada 10 unsur yang terkandung dalam system social, yaitu:
1. Keyakinan
(pengetahuan)
6. Tingkatan atau pangkat (rank)
2. Perasaan
(sentiment)
7. Kekuasaan/pengaruh (power)
3. Tujuan,
sasanran atau cita-cita 8. Sanksi
4. Norma 9. Sarana dan fasilitas
5. Status dan
peranan 10. Tekanan dan tegangan
Secara sederhana
dalam arti luas system social budaya, dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan
dari unsur-unsur tata nilai, tata social, dan tata laku manusia yang saling
berkaitan, masing-masing unsur bekerja mandiri, bersama-sama satu sama lain
saling mendukunguntuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat. Sistem
sosial budaya Indonesia merupakan dari totalitas tata nilai, tata sosial dan
tata laku manusia Indonesia yang merupakan manifestasi dari karya, rasa dan
cipta didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam rangka
berpola dan berpikir yang bertindak berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Struktur sistem sosial budaya Indonesia dapat merujuk pada nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila yang terdiri atas:
1. Tata
Nilai
a. Nilai
Agama
c. Nilai Vital
b. Nilai
Moral
d. Nilai Material (raga)
2. Tata
Sosial
Tata sosial indonesia harus
berdasarkan (1) UUD 1945; (2)peraturan perundang-undangan lainya; (3) Budi
pekerti yang luhur dan cita-cita moral rakyat yang luhur.
3. Tata
Laku (karya)
Tata laku masyarakat Bangsa dan
Negara harus berpedomanpada:
a. Norma
Agama
d. Norma Hukum setempat
b. Norma
Kesusilaan/kesopanan e. Norma Hukum Negara
c. Norma
adat istiadat
2.2 Landasan Teori
A.
Teori Perencanaan Desa
Perencanaan
desa merupakan suatu kegiatan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan penduduk desa. Perencanaan perdesaan (Rural planning) merupakan
suatu kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan suatu lingkungan kehidupan desa
yang aman, menyenangkan, sehat dan ekonomis. Perencanaan perdesaan penting
dilakukan karena sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di perdesaan
sedangkan perhatian terhadap pembangunan daerah relatif sangat kurang
dibandingkan dengan pembangunan di perkotaan.
Secara
umum, perencanaan meliputi kegiatan pengaturan, Astuti (1997) mengemukakan
bahwa:
1.
Perencanaan
merupakan pemikiran hari depan.
2.
Perencanaan
merupakan pengelolaan.
3.
Perencanaan
adalah pembuatan keputusan.
4.
Perencanaan
adalah pembuatan keputusan yang terintegrasi.
5.
Perencanaan
adalah suatu prosedur formal untuk memperoleh hasil yang nyata, dalam berbagai
bentuk keputusan menurut sistem yang terintegrasi.
Perencanaan
wilayah berdasarkan pada konsep ruang harus memperhatikan karakteristik wilayah
perdesaan :
1.
Perbandingan
tanah dengan manusia (man land ratio) yang besar.
2.
Lapangan
kerja agraris.
3.
Hubungan
penduduk yang akrab.
4.
Sifat
yang menurut tradisi
Dari
karakteristiknya, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor geografis sangat
berpengaruh terhadap desa. Desa merupakan tempat dimana penduduk yang
mempertahankan dan melangsungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya dan
menggunakan lingkungan sekitarnya.
Bentuk-bentuk
desa berkembang sejalan dengan usaha pengembangan dan penggalian sumber daya
yang dimiliki. Beberapa bentuk desa :
1.
Bentuk
Desa Linier
Desa
berkembang memanjang mengikuti jalan raya, sungai, atau lembah yang menembus
desa yang bersangkutan. Apabila kemudian mengalami pemekaran, maka tanah
pertanian di luar desa sepanjang jalan raya akan berkembang menjadi permukiman
baru.
2.
Bentuk
Desa Radial
Biasanya
terdapat di daerah pegunungan. Pemekaran desa berkembang ke segala jurusan, dan
pusat-pusat kegiatan bergerak mengikuti pemekaran. Desa yang terletak di
persimpangan jalan berkembang keluar mengikuti jalan-jalan yang bersimpangan.
3.
Bentuk
Desa Mengelilingi Lapangan Terbuka, alun-alun atau fasilitas tertentu. Desa
berkembang di sekitar alun-alun atau lapangan terbuka.
4.
Bentuk
Desa Yang Terdapat di Pantai
Apabila
bentuk pantai landai, maka desa akan berkembang memanjang di tepi pantai.
Sedangkan bila desa berbentuk lembah, desa akan terkonsentrasi di dalam lembah
tersebut.
B. Prinsip-Prinsip
Perencanaan Desa
Perencanaan desa mempunyai dasar
usaha untuk memajukan penduduk dalam kehidupan sosial-ekonomi. Dalam
merencanakan suatu desa, diperlukan adanya rencana regional yang mengkoordinir
seluruh rencana-rencana lokal (rencana-rencana desa dan rencana-rencana kota).
Sedangkan rencana regional tersebut dikoordinir oleh suatu rencana nasional.
C. “Desa
Wisata”
Penetapan
suatu desa dijadikan sebagai desa wisata harus memenuhi persyaratan-persyaratan,
antara lain sebagai berikut :
1. Aksesbilitasnya
baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis
alat transportasi.
2. Memiliki
obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan local, dan
sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata.
3. Masyarakat
dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa
wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.
4. Keamanan
di desa tersebut terjamin.
5. Tersedia
akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.
6. Beriklim
sejuk atau dingin.
7. Berhubungan
dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.
Pembangunan
desa wisata mempunyai manfaat ganda di bidang ekonomi, sosial, politik, dan
lain-lain. Manfaat ganda dari pembangunan desa wisata, adalah:
1. Ekonomi
: Meningkatkan perekonomian nasional, regional, dan masyarakat lokal.
2. Sosial
: Membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha bagi masyarakat di desa.
3. Politik
:
*
Internasional : Menjembatani perdamaian antar bangsa di dunia.
*
Nasional : Memperkokoh persatuan bangsa, mengatasi disintegrasi
4. Pendidikan
: Memperluas wawasan dan cara berfikir orang-orang desa, mendidik cara hidup bersih
dan sehat.
5. Ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) : Meningkatkan ilmu dan teknologi bidang
kepariwisataan.
6. Sosial
budaya : Menggali dan mengembangkan kesenian serta kebudayaan asli daerah yang hampir
punah untuk dilestarikan kembali.
7. Lingkungan
: Menggugah sadar lingkungan (Darling), yaitu menyadarkan masyarakat akan arti
pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan bagi kehidupan manusia kini
dan di masa datang.
BAB III
DATA, ANALISIS DAN
IMPLIKASI
3.1 DATA
3.3.1 Ruang Lingkup Kampung Sade, Lombok Tengah
Kampung Sade merupakan salahsatu dusun
yang terdapat di Desa Rembitan, Kec. Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Secara
geografis kampung Sade terletak pada 08
50’
LS dan 116
BT dengan batas wilayah sebagai berikut:
·
Sebelah
Barat : Dusun Penyalu
·
Sebelah
Timur : Dusun Lentak
·
Sebelah
Utara : Dusun Selak
·
Sebelah
Selatan : Dusun Selemang
Gambar 3.3.1
Peta Kabupaten Lombok
Tengah, NTB
(Sumber: laukkawat.blogspot.com)
Permukiman
kampung Sade terletak pada ketinggian 120-126m dpl. Dengan topografi yang
berbukit dan bergelombang. Disebelah utara dan selatan pemukiman terletak
persawahan dan ladag penduduk. Pemukiman kampung Sade terletak pada sebuah
bukit sehingga permukiman dibuat
berteras untuk menghindari terjadinya erosi, berbeda dengan lahan persawahan
yang merupakan lahan datar.
3.3.2 Ruang
Lingkup Desa Senggigi, Lombok Barat
·
Selat
Lombok di sebelah Barat
·
DesaSenteluk
dan Desa Sandik di sebelah Selatan
·
Desa
Lembah Sari di sebelah Timur
·
Desa Malaka Kecamatan
Pemenang (Kabupaten Lombok Utara) di sebelah Utara.
Gambar 3.3.2
Peta Kabupaten Lombok Barat, NTB
(Sumber :
lombokbaratkab.go.id)
3.3.3 Sistem Kepercayaan Kampung Sade
Sebagian besar penduduk suku SASAK
beragama islam dan sebagian kecil dari mereka ada yang disebut dengan istilah
"ISLAM WEKTU TELU". Islam Wektu Telu ini terbentuk dari sejarah peninggalan
penyebaran agama islam yang dilakukan oleh 9 Wali atau yang disebut denga
"WALI SONGO" dari JAWA. Dimana pada saat itu ISLAM belum sempurna
disampaikan kepada penduduk suku SASAK.
3.3.4 Adat istiadat Yang Ada di Kampung Sade
1. Baunyale
Bau Nyale adalah sebuah peristiwa
atau tradisi sakral yang sarat akan legenda yang melatar belakangi ritual
tersebut. Dikisahkan, pada zaman dahulu kala hiduplah seorang putri yang cantik
jelita dan banyak diperebutkan oleh banyak putra mahkota dari raja-raja di
Nusantara. Putri cantik itu bernama Putri Mandalika. Ia seorang putri Raja
Tonjang Baru yang kerajaannya berada di wilayah yang didiami oleh suku Sasak
sekarang ini.
Karena kecantikannya yang banyak menarik para putra
mahkota untuk meminangnya hingga Putri Mandalika menjadi bingung untuk menerima
atau menolak salah satu dari mereka. Bila salah satu ditolak pinangannya maka
tak pelak lagi pasti akan terjadi peperangan seperti lazimnya zaman itu di mana
tradisi pada saat itu yang menganggap penolakan sebuah pinangan dianggap
sebagai suatu pelecehan martabat dan harga diri.
Karena kebingungan dan kecemasan akan meletusnya
peperangan hanya karena pinangan mereka ditolak, maka pada akhirnya Putri
Mandalika, pada tanggal 20 bulan kesepuluh memutuskan untuk menceburkan diri ke
laut lepas, hingga akhirnya tewas dan kemudian menjelma menjadi roh halus yang
mendiami kawasan tersebut.
Dasar kepercayaan inilah yang kemudian menjadi pijakan
bagi Suku Sasak untuk menyelenggarakan ritual Bau Nyale secara rutin. Suku sasak
percaya bahwa Nyale merupakan jelmaan dari Putri Mandalika yang oleh karenanya
sebelum diambil dan dimanfaatkan harus diberi penghormatan khusus terlebih
dahulu. Nyale sendiri sebenarnya adalah sejenis binatang laut berkembang biak
dengan bertelur, perkelaminan antara jantan dan betina. Upacara ini diadakan
setahun sekali pada setiap akhir Februari atau Maret. Bagi masyarakat Sasak,
Nyale dipergunakan untuk bermacam-macam keperluan seperti santapan (Emping
Nyale), ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk pauk, obat kuat dan
lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Gambar 3.3.4.1
Tradisi Bau Nyale
2. Periseian
Periseian sebenarnya adalah
sebuah tradisi yang digelar rutin tiap tahun oleh masyarakat suku Sasak di mana
dalam Periseian ini diadakan sebuah pertarungan antar dua orang di arena dengan
bersenjatakan sebilah rotan dengan lapisan aspal dan pecahan kaca yang
dihaluskan, sedangkan perisai (Ende) terbuat dari kulit lembu atau kerbau.
Setiap pemainnya/pepadu dilengkapi dengan ikat kepala dan kain panjang.
Periseian sendiri pada awalnya
adalah sebuah latihan pedang dan perisai oleh prajurit kerajaan di Lombok
sebelum mereka menghadapi perang yang sesunggunya di medan perang. Namun, dalam
perjalanannya Periseian ini kemudian berkembang dan tetap dilaksanakan hingga
kini oleh suku Sasak sebagai ajang bertarung di arena dengan juri sebagai
pengatur pertandingan. Suku Sasak tahu betul akan sportifitas, dan karenanya
meski dalam arena mereka sampai berdarah-darah terkena sabetan rotan lawannya
namun di luar arena mereka sama sekali tak ada dendam satu sama lain. Mereka
tahu betul bahwa itu hanya sebuah permainan yang karenanya tak perlu di bawa
hingga ke hati dan menimbulkan dendam hanya karena terluka pada saat bertarung
di arena.
Gambar 3.3.4.2
Tradisi Periseian
3. Perang Ketupat (PerangTopat)
Upacara perang topat ini
dilaksanakan oleh mereka yang berprofesi sebagai petani sebagai perwujudan rasa
syukur kepada Tuhan atas karunia yang telah diberikan dan sekaligus awal dari
sebiah harapan akan berkah sang Pencipta agar pada tahun-tahun mendatang mereka
diberi karunia hujan yang cukup, tanah yang subur untuk ditanami, dan panen
ayang berlimpah.
Secara teknis, upacara perang
topat ini adalah saling melempar ketupat antara dua pihak dalam satu arena yang
disebut dengankemalig. Dalam upacara perang topat ini bisa digelar hingga
berhari-hari dengan berbagai rangkaian di dalamnya.
Gambar 3.3.4.3
Perang Topat
3.3.5 Keadaan Sosial-Ekonomi Kampung Sade
A. Kegiatan Ekonomi Kampung Sade
Aktivitas menenun merupakan aktivitas
yang sebagian besar dilakukan oleh perempuan. Dan menenun adalah sumber
penghasilan kedua mereka setelah bercocok tanam. Perempuan kampung Sade merajut
benang helai demi helai, untuk dijadikan selendang, sarung, kain, syal, dan
lainnya, untuk kemudian mereka jual. Cara menjualnya pun unik, bagi yang tidak
mempunyai lahan, mereka mendisplay produk hasil tenunannya di depan pintu
halaman rumahnya. Harga produk tenun di kampung Sade dijual paling murah antara
Rp. 50.000 – 150.000 untuk per helainya.
Mayoritas
perempuan dewasa penduduk Sade, sangat piawai menenun dengan menggunakan alat
tenun tradisional. Sebab sejak umur 10 tahun, mereka diajari cara menenun. Ada
suatu filosofi atau tradisi yang dianut di suku Sasak, perempuan Sasak jika
belum piawai menenun, maka perempuan tersebut secara adat, belum boleh di
nikahkan. Karena dianggap belum dewasa. Selain itu, adapun kegiatan home industry lainnya selain menenun,
yaitu menjual berbagai aksesoris/cinderamata khas dari kampung sade seperti :
Pernak- pernik berupa manik-manik, seperti kalung-kalung, gelangm cincin, dsb.
Gambar
3.3.5 A
Hasil
Karya Penduduk Kampung Sade Berupa Kain Tenun dan Cinderamata
3.3.6 Keadaan Sosial Penduduk Kampung Sade
Jalan menuju rumah
tetangga terlihat sempit sekali dan hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki.
Penduduk kampung sade. Jarak rumah sangat padat sekali sedangkan jalan kampung hanya
merupakan jalan setapak yg tidak bisa dilewati olej kendaraan bermotor. Selain
itu, ada pula kebiasaan unik yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga di
kampung sade, yaitu mengepel lantai mereka dengan menggunakan kotoran kerbau setiap
seminggu sekali. Ini merupakan adat suku setempat, yang mempunyai arti bahwa
kerbau merupakan alat untuk kegiatan pekerjaan penduduk yang digunakan
sehari-hari di sawah maupun ladang, sehingga untuk menghormatinya, digunakan
kotorannya lah sebagai penghormatan. Selain itu, kampung Sade memiliki lumbung
padi yang menggunakan sistem tadah hujan, jadi hasil panen dibuat untuk makan
selama musim tanam berikutnya.
Gambar
3.3.6
Keadaaan
Sosial dari Kampung Sade
(Sumber : indonesiabox.org)
Rumah yang terdapat di kampung sade
memiliki 3 tingkatan, yaitu yang pertama
:
·
Tingkat
1 untuk menerima tamu
·
Tingkat
2 untuk tidur dan
·
Tingkat
3 untuk tempat tidur anak perempuan.
Rumah adat tersebut nyaris tidak ada
ventilasi sama sekali dan juga berfungsi sebagai tempat memasak. Mereka
juga mempunyai adat untuk membalurkan Kotoran kerbau di dalam rumah tersebut,
adat ini mereka yakini untuk menghormati arwah leluhur. Di rumah tersebut juga
terdapat tulang kepala Kerbau yang dipasang didinding sebagai hiasan rumah dan
bentuk penghormatan juga kepada leluhur mereka.
Lantai
1
Lantai
2
Lantai
3
3.3.7 Sistem Artefak di Kampung Sade
Ada beberapa ciri dari sistem artefakdari kampung sade,
yaitu :
1.
Bale Tani merupakan rumah tinggal bagi
masyarakat kampung sade, terdiri dari dua lantai, berdindingkan anyaman bambu,
beratap alang-alang, dan berlantai campuran tanah dengan kotoran kerbau/sapi.
Biasanya masyarakat mengepel rumahnya dengan kotoran kerbau/sapi 1 minggu
sekali.
Gambar 3.3.7.1
Bale Tani
(Sumber
: wisatanusatenggara.wordpress.com)
2. Bale
Bonter adalah bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki para pejabat
desa, dusun/kampung. Bale bonder digunakan sebagai tempat
pesangkepan/persidangan atas, seperti tempat penyelesaian masalah pelanggaran
hukum adat dan sebagainya.
Gambar 3.3.7.2
Bale Bonter
(Sumber
: winantyonugroho.wordpress.com)
3.
Bale
Kodong ini adalah rumah adat Sasak yang ukurannya paling kecil, dibandingkan
dengan rumah adat jenis lainnya. Bale Kodong digunakan oleh keluarga yang
lanjut usia dengan anak cucunya. Bale Kodong pun bisa digunakan oleh pasangan
pengantin yang baru menikah, sebelum mereka akan membangun rumah baru yang
lebih besar.
Gambar 3.3.7.3
Bale kodong
(Sumber
: mangkok-oratoret.blogspot.com)
4.
Lumbung berfungsi
sebagai tempat penyimpanan, dimana bagian atapnya merupakan ruangan yang dapat
dijadikan tempat menyimpan hasil panen atau perabotan rumah tangga masyarakat.
Di bagian bawahnya, terdapat semacam serambi yang bisa digunakan sebagai tempat
istirahat, atau sekedar duduk-duduk.
Gambar 3.3.7.4
Lumbung
(Sumber
: dhany-lombokrinjani.blogspot.com)
3.2 Analisis
Konteks Ruang Permukiman
Pola dan bentuk permukiman serta
perumahan Kampung Sade terlihat menyesuaikan dengan pola iklim. Contohnya :
rumah dibuat dengan bahan yang berpori sehingga sirkulasi angin kedalam rumah
lancar , atap rumah dibuat menjurai kebawah agar panas matahari ditahan oleh
atap, atap rumah dibuat oleh alang-alang yang dapat menyalurkan angin dan
tempat duduk/ruang tamu dibuat diluar rumah dengan konstruksi terbuka sehingga
sirkulasi angin baik.
Tempat duduk/bersantai dengan konstruksi terbuka
|
Jendela rumah sebagai sirkulasi udara
|
Gambar 3.2
Sistem Permukiman di Kampung Sade dan Desa
Senggigi
(Sumber : www.oladoo.com)
Berbeda
dengan desa Senggigi, bentuk atap rumahnya menjurainya sangat kebawah hampir
menutupi dari bentuk rumahnya. Mirip seperti rumah gadang di padang, namun ini
bentuknya lebih besar. Bila dilihat lebih dekat, isi dalam rumahnya hampir sama
dengan rumah yang ada di Kampung Sade.
3.3 Implikasinya Terhadap Penataan Ruang
Sistem permukiman yang ada di kedua
desa, yaitu kampung sade dan desa senggigi, merupakan desa yang masih mengemban
adat- istiadat. Dari bentuk atapnya dan lingkungan sekitarnya masih seperti
dulu. Didalam perencanaan tata ruang kota dan wilayah, jika akan menata dan
membangun suatu permukiman, harus melihat dari pola permukimannya dahulu.
Selain itu ada faktor lain yang harus diperhatikan seperti fasilitas
pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas bangunan umum seperti : kantor desa,
utilitas umum dan sanitasi, serta jaringan transport dan komunikasi.
Di
kedua desa ini masih sangat minim dari jaringan transport dan komunikasinya,
mereka belum memahami betul bagaimana komunikasi langsung secara teknologis.
Kondisi seperti listrik,air dan sistem pembuangan sampah dan saluran pembuangan
kotoran masih digunakan secara bersamaan dan mereka belum memiliki tempat yang
cukup untuk membangun itu semua secara individu.
BAB
4
KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI
1.
Kesimpulan
·
Masyarakat kampung Sade merupakan
salahsatu desa yang masih mempertahankan kebudayaan lokalnya. Dilihat dari
sistem artefak, sosial ekonomi dan adat istiadat yang masih berlaku.
·
Bila dilihat dari sistem
sosial-budaya, kampung sade memiliki norma-norma khusus yang masih dijalankan
hingga saat ini, seperti bila masuk ke dalam rumah, harus merunduh sebagai
tanda penghormatan kepada pemilik rumah. Selain itu, jarak antara rumah di
kampung Sade sangat berdekatan sehingga interkasi sosial yang mungkin terjadi
sangatlah erat.
·
Dilihat dari sistem tatanan
permukimannya, kampung Sade memiliki bentuk rumah yang unik, yaitu atapnya yang
dibuat menjurai kebawah. Ini dimaksudkan sebagai agar panas matahari ditahan oleh atap. Selain itu tempat
duduk/ruang tamu dibuat diluar rumah dengan konstruksi terbuka sehingga
sirkulasi angin baik.
·
Jika
diperhatikan, pembangunan rumah adat kampung Sade sebenarnya mengandung
nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan itu berkembang dan berlanjut secara
turun-temurun. Jadi, rumah merupakan
ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam
mengejwantahkan hubungan dengan sesama manusia (komunitas atau masyarakat),
alam dan dengan Tuhan (keyakinan), seperti halnya konsep yang ada pada
pembangunan rumah adat masyarakat Sasak.
2.
Rekomendasi
Sistem tatanan
permukimannya sudah baik, namun dari tata letak rumahnya yang harus lebih
diperhatikan. Karena jarak antar rumah terlalu dekat dan perlu diselingi dengan
pepohonan agar terlihat hijau dan nyaman. Dari sarana dan utilitasnya perlu
diperbaiki kembali agar seluruh penduduknya memiliki MCK masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Teori
Perencanaan Desa, Astuti dan Bintarto (1997)